Pagi ini dengan rencana awal ingin ke Peterongan cari nasi bebek, saya bersama istri sudah nyemplak di atas sadel Tigi dan tepat jam 9:30 ride on menuju tol Suramadu. Selama di perjalanan tanpa sengaja ngobrol tentang Bebek Songkem. Tanpa memiliki informasi apapun tentang nasi bebek Peterongan, saya rolling saja dengan pede berbekal seimprit informasi bahwa nasi bebek Peterongan hanya 30 menit dari pertigaan ujung Suramadu ke arah timur (jalur ke Sampang/Pamekasan). Well, dekat dong..
Jadi riding pun santai saja karena toh dekat, tapi celingak-celinguk setelah 1 jam lewat 30 menit menit kok tidak ketemu juga yang namanya depot nasi bebek Peterongan tersebut. Alhasil Tanah Merah, Galis, Blega, Jrengik, Torjun, terlewati. Bukit-bukit tandus di kiri-kanan jalan terlewati, ladang-ladang tembakau yang menghijau juga terlewati..astaga.. tidak ada satupun yang namanya depot nasi bebek Peterongan. Waks, odometer Tigi menginjak angka 40 KM, jelas ada yang salah. Dan setelah sekian jauh sadar, baru buka google maps di soner, dan ternyata .. iya…kita sudah di tengah-tengah antara Sampang dan Bangkalan. Balik kucing? Rugi! Maju teruuuus dan teringat kalau masih ada ‘bebek lain’ di Sampang sana. Bebek Songkem.
Akhirnya Tigi dipaksa mengaum di geberan 100 kpj buat kejar waktu agar si perut yang sudah ikutan ‘mengerucuk’ segera bisa dipuaskan. Tepat jam 12 masuk kota Sampang, dan berbekal foto capture alamat akhirnya ketemu juga Bebek Songkem Pak Salim tepat setelah monumen Sampang di dalam kota, tepatnya di Jalan Trunojoyo. Kota Sampang siang hari tidak ramai, karena menurut informasi memang itu kebiasaan disana, kalau siang aktivitas sedikit berkurang dan baru akan aktif kembali pada sore hari.
Foto depot khas Sampang bebek songkem yang berlokasi di Jalan Trunojoyo, Sampang Madura
Sebenarnya Bebek Songkem ini apa sih? Sedikit informasi bahwa bebek songkem ini adalah bebek yang dimasak dengan cara tradisional dimana dengan bumbu-bumbu yang katanya sederhana menurut si penjaga depot, bebek tersebut kemudian dibalur dan dibungkus dengan daun pisang. Memasaknya dialasi lagi dengan pelepah pisang, dan dengan metode memasak seperti itu, bumbu-bumbu menjadi meresap dan daging menjadi sangat empuk. Lalu kata Songkem sendiri katanya berarti Sungkem, mungkin karena bebek yang utuh penampilannya seperti sungkem.
Dengan harga Rp 12 ribuan untuk slices (potongan), Anda bisa menyantap bebek/ayam songkem dengan rasa yang luar biasa, dan menurut penilaian saya mantap sekali. Presentasi, aroma, keempukan, bumbu, pas semua. Sebelum pulang, saya malah akhirnya membeli stok 1 ekor ayam songkem yang ditebus dengan Rp 45 ribuan, plus 4 potong bebek songkem. Meskipun sebenarnya bebek songkem ini di Surabaya sudah mulai mudah dicari, tapi sensasi untuk makan di lokasi aslinya tentu memberi pengalaman yang berbeda.
Foto penampilan bebek songkem yang empuk dengan bumbu spicy dibungkus daun pisang
Kalau sempat pergi ke Sampang, silahkan rolling ke koordinat Google Maps -7° 11′ 49.85″, +113° 15′ 1.42″ . Duit 150 ribu rupiah masih ada kembaliannya kok untuk makan berdua atau bertiga. Murah kan?
Pada saat perjalanan pulang, ajaib, ternyata bebek peterongan muncul begitu saja di kanan jalan di daerah perbukitan desa Blega. Tidak mampir lagi, disimpan buat perjalanan yang akan datang saja. Dan sebuah capture tentang Sampang ini mengakhiri perjalanan Pesona Negeri kali ini. Happy riding.
Foto sekilas sejarah kabupaten sampang
